Monday, November 16, 2015

Terungkap

<!--Rasanya menyebalkan ketika harus mengungkapkan apa yang memang seharusnya tidak pernah terungkap.-->

***
           Udara masih pengap dengan bau tanah dan uap air, kolam-kolam air berhamburan terlindas ban truk besar. Disinilah aku, ditemani jus jambu dan syal tipis, menunggu kehadiran mobil yang akan mengantarku menghabiskan waktu terakhir bersama sahabatku di akhir masa SMA.

             Nampaknya jalanan memang sedang ramai dengan kendaraan yang segera berangkat selepas hujan reda. Jarum panjang sudah menunjukkan angka sebelas, itu artinya aku sudah menunggu dua jam di halte. Keterlaluan. Tak lama sebuah mobil berhenti di depanku dengan kaca terbuka seraya melambai padaku. Akhirnya penantianku berakhir.

        Pintu terbuka dan sesosok yang tidak aku sangka menyambutku di dalam mobil. Selama sepersekian detik jantungku berhenti berdetak, seakan tak percaya. Hingga akhirnya seruan Faro menyadarkanku dan memaksaku untuk masuk ke dalam mobil. Perjalanan terbilang cukup melelahkan, duduk selama 3 jam bukan suatu hal yang menyenangkan. Tapi dengan mereka, rasanya duduk seharianpun aku takkan merasa bosan. Uno, kartu remi, kemoceng, jempol, bahkan sebungkus popcorn bisa kami ubah menjadi penghilang rasa bosan. Aku, Faro dan Denny bergantian menyetir mobil walaupun iri ingin bisa terus ikut bermain.

           Kulirik GPS di dashboard mobil, rupanya kami sudah tidak jauh dari gerbang lokasi kemping. Ku lihat ke kaca spion tengah untuk memastikan semuanya baik-baik saja, tanpa kusangka kutemukan seseorang sedang memperhatikanku dan tersenyum. Sesegera mungkin aku mengalihkan pandanganku dan memperbesar suara speaker. Tak perduli apakah Ia sadar bahwa aku salah tingkah, kuniatkan untuk membuang jauh rasa yang dulu pernah ada.

       Pikiranku dipenuhi angan tentang perjalanan kali ini, perjalanan terakhir sebelum nantinya kami akan sibuk dengan urusan meraih bangku kuliah. Ini bukan perjalanan pertama dan terakhir, jauh sebelum hari ini sudah puluhan perjalanan yang kami tempuh. Dan mungkin karena itulah mengapa aku merasa sangat dekat dengan mereka.

      Di tengah lamunanku sekebat bayangan menubruk kaca mobil, spontan aku mengerem mobil dengan kasar. Tubuhku menbentur stir mobil,  seketika tubuhku lemas dan kurasakan darah mengalir ke luar hidungku. Naira dan Giro mengecek keadaan di luar, ternyata hanya buah yang jatuh. Vian menjitak kepalaku seraya memaksaku untuk bergantian posisi dengan Giro. Dengan saputangan di hidungku, aku tetap bersikeras untuk menyetir hingga gerbang masuk lokasi kemping. Denny membuka pintu setir dan memaksaku untuk pindah kursi ke sebelah, aku melawan tapi semua teman-temanku malah meneriakiku untuk pindah. Aku kalah.

      Perjalanan tinggal 2 km lagi, tapi mentari sudah menginjak cakrawala. Suasana mobil mulai kondusif, beberapa sudah ada yang terlelap tidur, sedangkan yang lain asyik melihat pemandangan senja di balik pepohonan. Udara mulai dingin dan menusuk, ini artinya lokasi kami sudah tinggal sejengkal lagi. Kulirik Denny kemudian aku segera memalingkan wajah. Tanpa kusangka Denny langsung membuka topik pembicaraan, ia menanyakan bagaimana kemajuan buku yang tengah aku tulis, kabar kucing-kucing kesayanganku, program dietku yang sampai kapanpun tidak akan pernah terlaksana, info mengenai film terbaru yang dibintangi Tom Cruise, hingga ia memintaku lagi untuk membawakan makan siang buatanku ke kelasnya dan Giro seperti dulu.  Bahasan ini memang yang paling aku rindukan ketika sedang bersama Denny. Memang semenjak empat bulan lalu banyak dari kami yang memang menjauh, apalagi Denny. Ia lebih sering bersama dengan pacarnya dan kesibukan barunya sebagai fotografer majalah SMA. Hari-harinya pun di kegiatan organisasi yang kami tekuni menjadi berkurang. Otomatis intensitasku curhat juga ikut berkurang. Dalam seminggu mungkin aku hanya bisa bertemu dia satu kali, dan itu hanya di kantin, dan kami tidak pernah mengobrol lagi.

                Ini bukan cemburu.

                Akhirnya papan nama lokasi kemping telah di depan mata, Denny memberhentikan mobil di bawah sebuah pohon tua. Satu persatu dari kami keluar dari mobil dan mengambil peralatan kemping. Lokasi kemping yang kami pesan ada di bibir danau, dan itu membutuhkan waktu berjalan kaki setengah jam lebih. Darah di hidungku sudah mengering, kamipun meninggalkan mobil dan melangkah menapaki jalan tanah menuju lokasi kemping.

                Tempat kemping tinggal satu kilometer lagi, dengan penuh kehati-hatian kami melangkah menelusuri tangga curam yang rasanya tidak berujung. Embun sisa hujan tadi siang masih menempel di pucuk-pucuk dedaunan. Harum khas pepohonan menyerbak disepanjang jalan yang kami lalui.


                Disinilah kami, di bibir kawah yang telah mati, di dalam mulut gunung Galunggung. Suhu yang dingin menusuk kulitku, beberapa kali kurasakan pembuluh yang tadi pecah tengah membengkak lagi dan siap untuk pecah. Kepalaku seperti dilempari kerikil, dan mataku sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Sepertinya Alisya sudah melihat bahwa kondisiku sedang tidak enak, ia segera memapahku untuk duduk dan menyelimutiku dengan jaket anak-anak yang lain.

                Semua orang sibuk dengan memasang tenda, masak, dan hilir mudik mengumpulkan ranting. Sedangkan aku, tediam sambil menahan rasa pusing. Memang tidak enak berada di posisi ini, kupaksakan untuk berdiri dan ikut mengumpulkan beberapa ranting untuk membuat api unggun. Vian sudah berteriak-teriak menyuruhku untuk tetap diam, tapi rasanya tidak enak menjadi orang yang hanya duduk saja ketika yang lain sedang sibuk bekerja. Kuapit setumpuk ranting dan membawanya ke Vian, hanya  tinggal dua langkah lagi tapi sakit menghantam kepalaku dan memaksaku untuk mengistirahatkan tubuhku untuk beberapa menit kedepan.

                Suara seorang pria mengejutkanku dari tidur, oh Giro. Rupanya makanan sudah siap dan sakir kepalaku mulai membaik, aku memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri, kaget ketika melihat semuanya sedang mengerubungiku dengan wajah penuh cemas.



                Malam ini kami dihujani bintang, cahaya bulan menyirami malam kami. Seusai ibadah, kami semua duduk di tepian api unggun sambil bercakap-cakap menikmati perjalanan akhir kami di masa SMA. Lagi-lagi Naira mengajak kami memainkan botol truth or dare, semua wajib ikut. Naira memutar botol dan, STOP, botol menunjuk ke arah Giro dan ia memilih dare. Satu persatu dari kami memberikan tantangan untuk Giro. Faro menantang Giro untuk memasukkan kaki ke air kawah yang dingin selama dua menit. Naira menyuruh untuk menirukan gaya Bu Fitri ketika sedang memarahi anak sekelas. Bertha menantang Giro untuk melamar Alisya dengan gaya pria jaman 80an. Vian menantang untuk makan batrawali. Kelihatannya Giro sangat kelimpungan mengerjakan dare dari kami, namun kami semua menikmati ini. Waktunya roliing again! Giro yang kali ini memutarkannya, syuuut……… dan Denny yang dapat!

                Sepertinya dia takut akan diberikan tantangan gila seperti yang diterima Giro, dia memilih truth. Kami semua bersorak dengan pilihan Denny, akhirnya kami bisa mengorek kepribadian asli dari seorang Denny ganteng cool misterius yang selama ini terpendam. Satu persatu dari kami menanyakan hal yang rasanya sama gilanya dengan dare Giro,

Kapan lo pernah ngiler? Pas di rumah Faro Pernah curi-curi minum pas puasa di kamar mandi? Sering.Ngumpil trus dilepetin ke temen? Pernah, tuh si Bertha korban gue!
Makan upil? Hehehe harus dijawab ya? 
Sampai pertanyaan bernada nyindir,
Lo pernah ngomongin gue di belakang ya? TAU DARI MANA LO?! Oiuya pas lo waktu itu kentut di bus trus pas lo nyuruh-nyuruh orang kelas padahal lo ga kerja apa apa.Iya gitu? Emang kalian yang ga kerja kali! Cape gue udah kerja sendiri, kalian malah leha-leha. Ya gue suruh balik lah, jadi pemimpin itu ga mudah men. Jangan ngejudje gitu aja dong! Yaudah kali, udah lama ini kejadiannya..
Sampai yang bernada introgasi,
pernah ngga lo suka sama salahsatu dari kita? PernahSiapa? GiroSerius! Pernah iya iya iyaSEBUT NAMANYA! Nggak ah ntar ngapung orangnya IH INISIAL! Harus banget disebutin, rahasia kali.
KAN TRUTH! Eh gak ada ketang, lo lo semua bukan tipe gue,
 dan Denny malah mengalihkan pembicaraan dengan bahasannya yang kesana kesini. Permainan kami berlanjut hingga malam. Ditemani mie rebus dan secangkir sereal, malam ini terasa sangat manis, sangat indah dan sangat hangat. Mini konser kami lancarkan malam itu, disorot lampu senter seadanya, sorot rembulan dan kerlap-kerlip bintang malam, mini konser ini sukses menaikkan pamor para penyanyi kamar mandi dan gitaris sapu dapur.

                Di tengah ramainya malam itu, kulihat wajah seseorang tertawa dibalik pekatnya malam. Lesung pipitnya muncul dan mengingatkanku dengan alasanku menyukainya semasa lalu. Seketika ku teringat niatku tadi sore, segera aku alihkan pandanganku dan menyibukan diri dengan teko dan teh.

                Malam itu ditutup dengan alunan indah suara Faro dan petikan gitar Giro. Tanpa diprediksi di akhir lagu, Faro mengungkapkan rasa cintanya pada Naira. Seketika kami semua terkejut dan membisu, hingga akhirnya Faro melanjutkan kalimatnya, “walaupun itu hanya karangan Giro saja..” kekakuan melumer diiringi tepuk tangan dari kami.

Vian, Alisya, Naira, Denny dan Faro sudah tertidur di tenda masing-masing. Tersisalah kami bertiga yang berusaha terjaga dari rasa kantuk dengan obrolan ringan khas orang ngantuk. Waktu terasa cepat berlalu, Giro mengucapkan selamat tidur, dan meringkuk di sleeping dekat api unggun. Bertha mengajakku untuk ikut tidur, tapi aku masih belum puas menghabiskan waktu menikmati indahnya malam ini. Bertha kalah dan ia meninggalkanku dan pergi tidur di antara kaki Naira dan Vian.

Ketika aku tidur tentunya aku tidak bisa menikmati perjalanan ketika rasi bintang cancer berpindah ke arah barat dan aku tidak akan bisa membayangkan banyaknya waktu yang nanti akan terenggut setelah fajar menyingsing di esok hari. Tak pernah ada rasa rela di hatiku ketika kusadari dalam beberapa bulan kedepan kami akan berpisah. Vian akan mengejar impiannya ke universitas ternama di Inggris, Naira dan Faro akan pergi ke Sulawesi untuk melanjutkan bisnis keluarga mereka masing-masing, Alisya akan pindah ke Surabaya, Bertha akan pulang ke Bontang, dan Giro akan mengejar bangku kuliah di Jogja. Tersisalah aku dan Denny di Bandung. Denny juga pasti akan disibukkan dengan profesi barunya sebagai fotografer.

Kelak, ketika kami telah berpisah, tolong berikan kami kesempatan untuk berkumpul. Aku tidak ingin rasa canggung menanyakan kabar sampai menjangkiti hati kami. Bisakah aku memberitahukan apa yang selama ini aku rasakan, kepadanya? Mungkin tidak. Tuhan, ketika mentari terbangun esok hari pastikan kami akan selalu bersama, maka kuterbangkan doaku ini diantara hembusan udara  ini, kerlipan bintang-bintang, dan aliran darah kami. Aamiin.

Sebuah guncangan membangunkanku dari tidur, kubuka mataku dan kutemukan bahwa hari masih gelap. Giro mecubit hidungku dan memaksaku untuk bangun. Dengan malas aku berdiri dan gentian mencubit pipi Giro dengan gemas hingga ia menjerit kesakitan. Rasain. Giro menarik tanganku dan membawaku ke bibir gunung. Duduk di sebuah batu besar, dari sini kubisa melihat tenda kami berada di bawah mulut gunung. Suasana kala itu sepi dan sangat dingin, di sekeliling kami masih terlihat kabut tebal. Entah apa yang membuat Giro mengajakku kesini, aku sempat marah ketika ia membangunkanku secara paksa dan menarikku dengan kasar ke tempat yang tinggi ini. Aku sempat bertanya mengapa ia mengajakku kemari, tapi dia hanya diam sambil tersenyum cengar-cengir seperti biasanya. Rasanya ada yang ditutup-tutupi. Sebelum mengucapkan sepatah kata, Giro mengajakku bangkit dan ke masjid untuk sholat. Kumandang adzan menggema di mulut gunung, dengan jamaah yang lain aku mengambil air wudhu sedingin es.

Shubuh kali ini luar biasa, air es membangunkanku dan menyadarkan aku bahwa Giro tidak sepatutnya aku marahi. Setelah mataku terbuka seratus persen, Giro mengajakku kembali ke batu tadi. Disana aku dan Giro hanya terdiam membisu, aku merasakan badanku menggigil dan gigiku bergemeletuk. Sontak Giro memberiku jaketnya dan menyuruhku untuk meretsleting jaketnya. Aku sempat menolak karena berpikir ia juga pasti kedinginan. Sempat berargumen, hingga akhirnya jaket Giro kupakai, dan jaketku Giro pakai, jalan tengah yang bagus.

 Dari sanalah kecanggungan kami meleleh, kami bercerita soal masa-masa alay di SMP, masa-masa nakal masing-masing ketika SMA, permasalahan pribadi, dan terbongkarlah kekonyolan kami. Yeah. Tidak terasa matahari mulai terlihat di cakrawala, Giro memutarkan kepalaku ke kanan hingga aku berujar kagum dengan terbit dari bibir gunung. Ku berucap syukur penuh khusyu, hingga Giro memecah kekhusyuanku sambil berkata bahwa aku sangat lucu ketika excited, ia pun membawakan aku secangkir esteemje dari warung. Memperpanjang obrolan kutawarkan untuk membuka rahasia satu sama lain, Giro pun menyanggupinya.

Gunting kertas batu, yang menang bisa menentukan siapa yang harus dibuka rahasianya.
DOR. Giro mengeluarkan tangan batu dan aku gunting.
Giro mulai menanyakan hal-hal yang sebenarnya dia sudah tahu. Sebenarnya aku heran apa keinginan orang ini. Setelah lelah bertanya-tanya, Giro memberikan satu kesempatan untukku untuk memberitahukan apapun yang paling rahasia dari diriku.

Spontan aku berkata bahwa aku meminta maaf sudah memarahinya ketika bangun tadi. Dan kubeberkan bahwa selama ini aku menyukai Giro. Tidak ada yang aneh dengan perubahan ekspresinya. Tapi itu dulu. Kuceritakan semua hal, dari betapa sakit hatinya aku mengirimkan makan siang untuk Giro namun Giro berikan untuk Denny. Perasaan kehilangan ketika Denny mulai sibuk karena tidak bisa mendapatkan kabar mengenai Giro, dan kehilangan waktu mencurahkan kekesalan karena Giro yang tak kunjung peka. Rasa senang ketika Giro selalu ada di agenda ekskul, ketika memberikan perhatian lebih kepadaku, walaupun kutahu bahwa Giro melakukan hal yang sama kepada semua orang. Kuceritakan bagaimana lesung pipitnya bisa membuatku jatuh cinta. Rasa campur aduk ketika kutahu bahwa Giro sudah bersama dengan yang lain. Dan bagaimana aku bisa bertahan dan menutup luka tersebut.

Entah mengapa aku bisa dengan berani menceritakan itu semua. Padahal aku sudah berniat untuk menjauhi Giro selama perjalanan ini. Setidaknya semua yang pernah kupendam kini telah keluar, meskipun sedikit kemungkinan bahwa Giro akan peduli. Doaku sepertinya terkabul? Ini ancaman untuk persahabatan kami, sebenarnya.

Seusai aku bercerita panjang lebar, Giro hanya tersenyum sambil memamerkan lesung pipitnya, lagi. Ia langsung mengambil alih cerita, dan mendesakku untuk berganti giliran. Dengan sandal sebagai mic, aku menyodorkannya kepada Giro. Walaupun sedikit konyol, sebagai usaha mencairkan suasana seusai kejadian spontanitas tadi. Pertanyaanku jelas lebih berbobot daripada pertanyaan Giro yang asal-asalan. Setelah semua jawaban sudah aku kantongi, dan aku semakin yakin kalau Giro tidak akan memperdulikan apa yang sudah kukatakan tadi. Sebagai tambahan aku berikan kesempatan baginya untuk memberitahukan sesuatu yang paling rahasia dari seorang Giro.

Selama beberapa menit dia terdiam, sambil memelintir tali sepatunya. Setelah ia mendesah akhirnya ia berkata hal yang seharusnya sudah aku duga. Giro juga selama ini menyimpan perasaan yang sama kepadaku.  Aku terbelalak mendengarnya. Ia mengklarifikasi bahwa makanan yang kuberikan tidak sepenuhnya diberikan pada Denny, tapi lebih tepatnya dibagi dua. Memang yang mengembalikan kotak makan Denny bukan Giro, ia terlalu malu untuk mengembalikan kotak makan, karena yang Giro tahu bahwa aku menyukai Denny. Ia takut akan merusak persahabatan kami apabila menyatakannya kepadaku. Iapun mengakui bahwa semua orang menganggapnya berlaku baik ke semua orang, karena tidak ingin ada orang yang tahu kalau ia lebih perduli ke satu orang, kepadaku. Dan ketika sedang kalut, tanpa disangka seorang gadis menyatakan cintanya kepada Giro dan akhirnya ia mencoba untuk hidup di dunia baru tanpa rasa takut menyakiti persahabatan. Kemudian Denny berpacaran dengan gadis lain, alhasil Giro semakin bingung dengan hubunganku dan Denny, hingga akhirnya ia memilih menjaga jarak menjauhi segala kemungkinan yang membuatnya kembali teringat dengan diriku. Ia mengakui bahwa tawaku masih membuatnya jatuh cinta, dan ia tidak memungkiri bahwa masih ada rasa untukku.

Entah bagaimana wajahku ketika semua ini terucap dari orang yang tak pernah kusangka memiliki perasaan yang sama. Tapi entah mengapa, kami berdua hanya bertatap mata dan spontan tertawa keras sekali. Kuucapkan rasa kagetku mengetahui hal ini dari orang yang tidak pernah disangka memiliki perasaan yang sama dan memiliki perspektif pemikiran yang berbeda.

Setelah puas menertawakan kekonyolan kami, Giro menghela napas dan menanyakan kelanjutannya. Aku hanya mendongak dan bertanya kembali, kelanjutan apa? Giro menggumam seraya berkata bahwa aku yang tidak peka. Oh, sepertinya aku paham.

Aku tersenyum sambil meminta maaf tidak bisa melanjutkan apa-apa, perasaanku sudah tidak bersisa untuk Giro meskipun Giro masih memilikinya. Kujelaskan bahwa Anin merupakan temanku dan aku tidak ingin Anin kecewa karena kenyataan yang terlambat ini. Memang sebaiknya tidak ada yang boleh ‘lebih’ dalam persahabatan. Akan membuat semuanya semrawut dan belum tentu bermujur baik.

Giro menunduk lemas, menatap esteemjenya yang belum ia minum. Aku pastikan pada Giro, seandainya memang berjodoh, kelak pasti akan dipertemukan lagi. Kuraih wajahnya dan kucubit hidungnya untuk memastikan bahwa Giro bisa menerima kenyataan ini. Bahwa aku saat ini bukan untuknya.

Giro membalas cubitanku dan kami beranjak berdiri dan melihat ke belakang. LHO?!

                Enam orang sahabatku sudah tersenyum melihat kebersamaanku dan Giro, kuberikan kode bahwa there’s nothing here. Pandangan Denny sudah menyudutkan kami, hingga Giro merangkul Denny dan mengajaknya ke arah berlainan untuk mengalihkan perhatian. Tiba-tiba Faro berteriak ke arah Denny dan Giro “Yaudah, si Kinara buat gue aja ya!!”
              
  Denny dan Giro berbalik, Vian, Bertha, Naira, Alisya dan aku langsung menyerbu Faro untuk dijitak habis-habisan.

Setidaknya yang aku pendam sudah terungkap. Untung saja berbalas manis, kalau tidak… Ya itu untung-untungan. Kalau tidak manis, ya bagian itu yang paling menyebalkan ketika kita menyatakan apa yang selama ini kita rasakan. Tidak mudah menyatakan perasaan, tapi sangat sulit memendam apa yang kita rasakan.



Di dalam mobil terdapat Kinara, Alisya, Denny, Faro, Naira, Bertha, Giro dan Vivian. Kami berdelapan berjanji akan kembali lagi,

No comments

Post a Comment

If this post inspiring you, don't forget to tell me o k?

© mutiaraini
Maira Gall