Friday, February 17, 2012

Sahabat, Teman, atau Musuh?


Part I
(Cuek Bebek Kwekwek)

Mungkin yang sudah merasa ditikam dari belakang oleh teman sendiri pasti sering memikirkan hal ini. Yeah, hari ini aku mau bagi-bagi cerita fiksi buatanku nih.. (bermoral loh..)


Pagi itu hari terakhir kegiatan tahunan sekolah kami. Namaku Desi, aku anak kelas 7 di SMP Gloria Roses. Kegiatan itu kami namakan Book Week, yeah.. Minggu Buku.. Di minggu tersebut kami diharuskan membawa satu buku setiap harinya untuk dibaca pada jam terakhir sekolah. Setelah 5 hari bergelut dengan buku-buku, perpustakaan, dan buku untuk didonasikan untuk sekolah Negeri yang kekurangan buku-buku, kami kini berada di hari terakhir Book Week. Sedih memang rasanya.. 30 menit untuk membaca, pure membaca, silent pula.. Ehehe.. Maklum aku suka dengan buku, apalagi novel. Dikalangan teman-temanku yang sedang trend nya baca komik, aku tetap setia pada si novel.
Buku untuk didonasikan sudah ada digenggaman. Aku dan beberapa temanku dari SMP dan SD menjadi orang terpilih yang mewakili tiap Level-nya. Kami pun pergi ke sekolah negeri itu. Di dalam mobil, akulah bidadari diantara para tentara.. Cielah.. Nyambungnya apa?? Yah aku perempuan sendiri di kegiatan itu. “Biarin sajalah” ujarku pasrah.. Di jalan kami diam-diam-an karena aku ngga terlalu kenal sama teman-teman yang ikut kegiatan itu. Di jok belakang, tempat aku duduk, ada satu guru dan satu murid. Murid itu sudah kukenal, ia adalah adik kakak kelasku..
ù
“Yela, pindahin dong buku-buku itu!” Frei menyuruhku untuk memindahkan buku dipojok ruangan perpustakaan.
“Sip” Aku menunjukkan ibu jariku tanda bahwa aku akan melakukan apa yang ia inginkan.
Aku mengambil buku di pojokan dan menaruhnya di depan rak buku sejarah. “Res, ini tolong dipilah ya!” Aku menunjuk buku yang baru saja aku taruh. Resi nampaknya tidak mendengar perkataanku, ia lebih asyik berbisik-bisik dengan Kida. Akupun mengulangi perkataanku sekali lagi. Bukannya Resi yang menoleh, malah Kida yang menoleh dengan muka acuh tak acuh, dan kembali berbisik-bisik lagi. Kok ga ngewaro aku sih tuh anak! Pasti mereka ngobrolin aku.. Batinku dalam hati, aku pun memutuskan untuk memilah buku-buku itu sendiri. Keyla yang dari tadi melihatku, datang menghampiri. “Yel, bukannya kamu harusnya ke Pak Riuu ya?” Keyla ikut membantu. “Sudahlah aku saja yang memilahnya, kau pergi sana ke Pak Riuu! Nanti dia marah besar loh!” Akupun menuruti apa yang diperintahkan Keyla. Aku berlari ke ruang Guru untuk bertemu Pak Riuu.
ù
Akhirnya kegiatan pendonasian buku berakhir. Aku kembali ke sekolah dengan muka bosan. Kegiatan pemberian buku donasi ke sekolah negeri itu sebenernya hanya memberikan buku secara simbolis saja, dan seharusnya kami tidak perlu ikut, karena guru pun seharusnya bisa. Aku melangkah keluar dari mobil jemputan. Guru yang berada di jok belakang berterimakasih atas partisipasi kami hari ini. Aku hanya tersenyum dan berkata apa yang seharusnya dikatakan apabila ada orang yang mengatakan terimakasih. Selesai itu, aku berlari kearah lapangan futsal, dimana banyak temanku disana. “Ngecet.. GS Cup..” AKu berbisik dan memelankan langkahku.
Suasana di lapangan sangat ramai, murid SD dan SMP berbaur dalam satu kegiatan, NGECET lapangan. Ada pula yang hanya sekedar nonton dan jajan. Hahaha.. Aku termasuk yang Cuma nonton saja, kakak kelasku yang perempuan asyik mengecat garis OUT, yang laki-laki juga sama. Yela, Gia, Kia, Nana dan Pak Abah (panggilan khas murid SMP ke Pak Rahmad) asyik mercakap-cakap di pinggir keramaian acara ngecet lapangan. Aku datang terburu-buru ke arah mereka, “Eh, panjang umur si Desi!” Yela dan Kia bersorak menyambut kedatanganku. Pah abah juga cengar-cengir saat aku datang. “Ehehe.. Bosen ih tadi ke sekolahnya!!” Aku menggerutu. “Duh si teteh ada-ada aja deh..” Nana ikut nimbrung.
Entah darimana percakapan ini mulai, lama-kelamaan mereka malah seperti menjodoh-jodohkanku dengan salah satu kakak kelasku (orang itu kakaknya yang bareng duduk sama aku di jok belakang). “Heuh.. Itu kamu aja kali Na!” Aku mencolek pipinya yang gembul itu. Nana mengelus-elus pipi putihnya itu sembari pergi meninggalkan kumpulan orang yang gak ada kerjaan. Ke arah si kakak kelas yang tadi dijodoh-jodohkan denganku. Ia mulai memotretnya, “Si Nana mah kebiasaan.. Ehehey” Aku berbisik kepada Yela, Kia, dan Gia. Mereka tertawa cekikikan, “Harusnya kamu cemburu Des!” Gia menepuk pundakku. Aku menggeleng sembari menatap sinis Gia yang tersenyum jail kepadaku.
“Eh teteh, liat deh, Kak Mellin dan Kak Ija.. Cocok banget ya! Nanti sama aku di crop, trus kuberi tulisan ‘I LOVE U PULL’ ditengahnya” Nana menunjukkan foto si kakak kelas yang dijodoh-jodohkan denganku (panggil aja si Kak Ija, biar pendek) dan foto kak Mellin. Kak Mellin anak baru di SMP, tapi sudah dekat dengan teman-temannya.. Aku tertawa kencang sambil menyodorkan Hi-five ke arah Nana. Mak Comblang, ceritanya..
“Eh si Kido sama si Resi kemana? Tumben kaga bareng ama kalian” Aku celiangak-celinguk mencari dua sahabat itu. “Tau tuh, paling juga lagi pacaran!” Yela nyeletuk lagi. Mereka kan cewe, ngapain pacaran? Batinku. Aku hanya tersenyum kecil mendengar celetukan Yela itu. Aku mulai asyik bercanda tawa dengan orang yang gak ada kerjaan itu. Berpanas-panasan dengan celotehan anak perempuan dan laki-laki yang saling barbaur, ini yang aku inginkan batinku sembari bersyukur. Tentramnya hari ini.. Walaupun dengan celotehan si Nana ke si kak Ija, “Kak Ija pacar kak Desi ya?!” Si Nana teriak-teriak, dan gak di tanggapi. “Iya!” Nana jawab sendiri dah.. “Tuh kan Des..” Kia menepuk pundakku sebari cekikikan. Aku memonyongkan mulutku tanda tak suka..
ù
                “Hahahaaa” Aku tertawa terbahak melihat Desi bersungut-sungut menatap Nana dengan tajam. “Eh Yel, ketawa jangan lebay teuing, kasurupan siah!” Opik lewat sambil memperingatkan aku. Huh.. Ikut campur aja.. Batinku dalam hati. Aku menoleh kearah Opik, dan ingin melempar ledekan lagi ke arahnya, namun aku melihat Resi dan Kido lewat dari arah kantin ke pintu keluar lapangan. Belum sempat memanggil, Kia menyuruhku untuk duduk di selasar dan menyodorkan sepotong roti untuk kumakan. “Resi, Kido! Bantuin lah!” Desi melambaikan tangan kearah Resi dan Kido yang sedang lewat. Resi dan Kido malah melenggang begitu saja dari lapangan tanpa menyahut atau meminta maaf kalau tidak bisa membantu ke Desi. “Huh.. Aneh…” Aku menendang sampah di pinggir selasar dengan sebal hingga sampah itu terbang sejauh 5-6 meter jauhnya. “Kunaon cheu?” Pa Kemal memanggilku seakan bingung kenapa aku terlihat begitu kesal. “Gak papa..” Aku melenggang meninggalkan Pa Kemal yang masih menyimpan pertanyaan.
ù
“Assalamualaikum..” Aku masuk ke dalam kelas untuk menaruh minum. Tak ada yang menjawab, padahal disana ada Resi dan Kido yang sedang asyik berbisik dan tertawa kecil. Aku terpaksa tidak mengganggu mereka berdua, tidak menyapa, ataupun menegur karena tidak menjawab salam dariku. Aku menaruh minumku kedalam tas, dan kembali ke lapangan. “Rasanya lebih tenang berada di lapangan dibanding di kelas, hahaha.. Aku ini memang aneh..” Aku berbicara sendiri, untung tidak ada yang melihatku, kalau sampai ada yang melihat bisa-bisa aku dibilang orang gila.. Aku tertawa kembali. “Dari mana neng?” Kia bertanya kepadaku. “Dari kelas.. Si Resi sama si Kido aneh banget perilakunya..” Aku menceritakan kejadian yang baru aku lalui di kelas. “Ah mereka mah kayaknya mau ngejauhin kita deh! Kita berempat juga bisa ngejauhin mereka berdua kok!” Gia terlihat kesal sekali. Aku ngga mau ngajauhin orang lagi.. Aku berbisik kepada diriku sendiri..
Akupun melupakan kejadian itu dan mulai bersenang-senang di hari bebas itu.
ù
Hah.. Aku memasuki kelas bersama Kia. Gia dan Desi sepertinya melihat sesuatu yang unik dibawah, sehingga aku dan Kia terpaksa ke kelas terlebih dahulu. Disana ada Pak Kemal yang sedang bercerita, hmm.. Aku tergoda untuk mendengarkannya. Aku duduk disebelah Kak Egni dan Resi, yang ternyata dari tadi berada disini untuk mendengarkan cerita hantu. Tak lama Desi dan Gia datang, dan ikut nimbrung mendengarkan cerita dari Pa Kemal. Merinding plus seru! Resi tampak antusias terhadap kegiatan bercerita itu. Padahal dari tadi dia tampak begitu dingin sampai ia bertemu Kido dan mulai berbisik-bisik. Pa Kemal sudah dipanggil Kak Ija untuk shalat Jum’at, Pa Kemal pun bergegas menyelesaikan ceritanya. Seperginya Pa Kemal kami bersiap untuk Shalat. “Siapa yang mau jadi iman?” Aku bertanya, namun yang menyahut hanya Gia saja, Kia masih berada di tempat Wudhu, Resi dan Kido yang berada sangat dekat denganku seakan-akan tidak mendengar suaraku. “Budek atau apa sih tu anak?!” Aku berbisik ke telinga Gia. Gia hanya tersenyum kecut. Desi yang memperhatikanku dan seluruh anak di kelas itu menatap sinis ke arah Resi dan Kido. “Yel, aku jadi imam yah!”Gia menunggu jawabanku. Aku mengangguk tanda setuju.
ù
Uhh… Mereka lama sekali sih! Aku memfokuskan diri untuk membaca sembari menunggu mereka selesai shalat. Huh.. Akhirnya selesai juga mereka shalatnya, aku menunggu salah satu dari mereka mengajak makan. Kia dan Yela sudah turun untuk pergi makan siang. Aku yang tidak berfikir yang aneh-aneh menghampiri Resi dan Kido yang mojok di meja guru, untuk mengajak makan. Bukannya bilang “iya” malah bilang “Ga ah Sok aja duluan..” sambil ga mau natep wajah aku. Gak sopan, batinku dalam hati. Aku turun menyusul Gia, meninggalkan sepasang sahabat itu di kelas. Kia dan Yela berkerumun di proyek jaring gawang, dan berlari menuju tempat makan. Aku berbaris untuk mengambil makan. Siang itu kantin sepi sekali, namun di lapangan sangat ramai oleh adik kelas yang membantu Kak Mellin untuk membuat jaring gawang. Aku melambaikan tangan kearah Shira yang sedang duduk mengikat tali raffia. Kia, Gia, dan Yela mengambil 2 meja bundar kecil untuk mereka. Terdapat 4 kursi disana. Aku melihat Kido mendekati kantin, aku berniat untuk menanyakan sikapnya yang aneh hari ini. Namun niatku kuurungkan karena beberapa meter dari Kido ada Resi yang berjalan menunduk. Akupun berkata kepada Kia, Gia dan Yela, “Disana aja yuk! Biar bareng-bareng!” Aku menunjuk meja besar di tengah kantin. “Sok aja kamu” Yela tampak segan. “Ya udah aku disana aja ya!” Aku pergi meninggalkan mereka bertiga dan duduk di dekat Innie dan Yaya yang tengah asyik membuat tulisan. Aku melempar senyum kepada keduanya. Mereka membalas senyumanku, akupun berdiam saja. Kukira Resi dan Kido akan makan disebelah Kia, Gia dan Yela. Ternyata mereka memilih untuk menjauhi Kia, Yela dan Gia. Jauh di pojok ruang makan.
Aku melirik ke Gia, Kia dan Yela yang tempak kesal melihat tingkah sahabat karib itu. Gia melambaikan tangan memanggilku untuk berpindah tempat ke meja mereka. Aku memberikan tanda “nanti” menggunakan tangan dan mulutku aga r tidak bersuara. Aku menunggu sahabat karib itu duduk dan tidak melihatku berpindah tempat. Waktunya sudah tepat! Aku berjalan perlahan ke meja bundar, seperti menggelar rapat saja.. Kia dan Yela mulai mengutarakan kekesalannya terhadap sahabat itu. Aku hanya tersenyum kecil sembari menahan kekesalan. “Bukan Kido yang salah, Resi yang salah. Kido hanya ikut-ikutan saja. Si Kido juga sama si Resi dibuat kaya Babu (pembantu), dan bukannya si Kido marah, malah nurut! Aneh!” Yela menghentakkan kakinya ke lantai. “Hmm.. Daripada gaul sama mereka mending aku nyibukin diri aja..” Aku ikut memberikan pendapat. “daripada mikirin mereka mending bantuin kak Mellin, Kak Egni, Kak Gita, Kak Tari dan yang lain yuk bikin jaring gawang!” Gia memberi ide. Kami berempatpun menyibukkan diri dengan bekerja membuat hiasan gawang.
Selama kami bekerja, mungin kami terlalu asyik, aku tidak melihat Resi dan Kido keluar dari kantin. “Ah EGP..” Aku kembali focus untuk menali tali-tali agar menjadi rapih. Walau harus kena Jackpot, alias nginjek dukuh yang udah diinjek, tapi semagatku tak kan padam.. Mau dibilang hasil jaringnya jelek sama anak laki-laki.. “Baee.. EGP..” Heheheh
ù
Akhirnya jaring selesai.. Desi menyambung-nyambungkan tali yang bersisa untuk digunakan kembali. Gia membantu Desi, Kia asyik dengan tali raffia di pojokan. Sedangkan aku? Aku merapihkan rumbai-rumbai di tiang gawang. Hehehe aku lagi iseng.. Tapi biarin lah, biar bagus dikit, mahakarya anak perempuan tea atuh! Hehehe.. Pa Kemal sudah memanggil dari jendela kelas atas agar SMP masuk. Kami pun berbondong-bondong naik ke lantai dua dan bersiap pulang. Desi dan Gia tidak membawa tas, maklum mereka ekskul di kelas.. hehehe, aku sih langsung pulang ke rumah bareng sama Kido. “Heuh.. Kido..” Pa Kemal menyuruh satu-satu dari kami untuk membaca hafalan. Kini giliran Opik, ia membaca hafalannya dengan keras. Kami sampai terkagum-kagum mendengar suaranya. Maklum, jarang diantara kami yang suaranya menandingi suara Opik yang bass banget. Bukannya ikut mendengarkan Resi dan Kido malah bisik-bisik lagi. Bukannya bisik-bisik didepan banyak orang dosa ya? Aku bertanya dalam hati. Ah, mereka udah baligh, dosa-dosa mereka, MASALAH BUAT GUE?! Sepulang kami, Kido dan Resi sudah turun. Aku dihampiri Desi, ia berkata, “Eh, nanti kan Kido sama Resi pisah tuh pas pulang. N’tar kamu tanya ke si Kido, kenapa dia sama si Resi bersikap kaya gitu. Pliss ya..” Desi berlagak memohon. “Ah.. Aku ga berani ah..” Aku pun berlalu meninggalkan Desi.
ù
Yah..Sudahlah biar nanti aku aja yang nanya sama si Kido.. Hmm.. Bagaimana ya nanti nanyanya? AKu bingung.. Desi benar-benar bingung..



bersambung.. 

 Jadi moralnya apa dong? apa yang bisa kita teladani dari cerita si Desi ini? Koment yaw! ^.^ 

No comments

Post a Comment

If this post inspiring you, don't forget to tell me o k?

© mutiaraini
Maira Gall